Review Film "Crows Zero" Bagian 2 (DUA)

 

 

Lagi-lagi, aku ingin mengatakan kalau diriku bukanlah siapa-siapa, bukan orang yang pantas untuk dipandang lewat layar kaca, bukan orang yang pintar dalam segala hal. Tapi aku hanyalah orang biasa, yang memang rada gemar menonton film, terutama film luar, dan kebanyakan inspirasi menulisku adalah dari film, bukan buku. Jadi, kalau disuruh mereview sebuah film, aku bakal mengulasnya dengan seteliti mungkin, seperti saat sedang membaca sebuah novel (hanya saja ini berbentuk gambar bergerak).

Dan, sewaktu menulis ini, sebetulnya aku juga takut sekali, karena jika ternyata aku salah kata, atau terlalu gimana gitu, nanti orang-orang akan bereaksi  kalau aku orangnya sangat sombong atau gimana. Tidak, tidak. Aku menulis ini berdasarkan kenyataan, dan kini, aku mencoba untuk melampiaskannya dalam sebuah tulisan. Siapa tahu tulisan ini berguna, siapa tahu orang-orang tidak menganggap aku sok pintar.

Dengar, aku masih seperti yang dulu. Tapi karena ada suatu kejanggalan yang menurut aku harus diluruskan, apalagi ini menyangkut film yang kelihatannya best seller di Negara Jepang sana, atau mungkin sudah tingkat dunia, aku harus turut turun tangan (jiach, kata-katanya. :D). Lalu, buat fans-fans novelku, jangan pada lari yak, ini semua cuma ungkapan hati.... :-*

Dannnn..... seperti inilah hasilnya:


REVIEW FILM “CROWS ZERO” II

Hmm, setelah kemaren mencoba mereview film Crows Zero bagian I, sekarang saatnya mereview seri keduanya, yaitu Crows Zero bagian II. Beruntung aku punya film-nya (tapi jangan ditanya dapet darimananya. :D)

Oke, setelah kemaren menghabiskan beberapa jam penuh untuk melihat filmnya, yang terbagi atas dua keping film, aku berani mengambil pendapat seperti ini. Yeah, kira-kira seperti yang akan kutulis di sini. Tapi, kau tentu pasti tahu, kalau di film bagian I saja aku sudah banyak sekali mengutarakan kritikan, nggak tahu deh nanti bagaimana penilaian berikutnya.

Dan pada saat menonton bagian kedua ini, aku betul-betul berharap, kalau segala kejanggalan yang terjadi di film bagian pertamanya bisa terjawab di film bagian keduanya.

Apakah kejanggalan yang kemaren aku utarakan akan terjawab?

Yuk, kita bongkar film Crows Zero bagian kedua ini!

Opening film, dibuat agak santai namun dengan sisi pengambilan gambar yang bagus. Berupa air kolam di sekolahan—yang kerap mereka pakai untuk latihan—dan ada potongan-potongan kayu yang bertuliskan huruf kanji. Hal ini langsung mengukuhkan bahwa film ini berasal dari jepang—penggambaran yang bagus, nilai 100 bagi Sutradaranya. Ditambah dengan kokok suara gagak, waw, kayak berasa di hutan gitu. Terasa asing dan sepi—dan aku tak bisa mengkritiknya, karena siapa tahu di jepang itu memang banyak sekali burung-burung gagak yang terbang bebas berkeliaran dimana saja.

Kemudian, opening film dilanjutkan dengan perkelahian antara Genji dengan Rindaman. Mulai dari adegan inilah keningku mulai berkerut, karena pas terakhir kali aku menonton film bagian I-nya, terakhir kali posisi mereka bertarung bukan seperti itu. Dan akhirnya aku memutuskan untuk mencoba memutar kembali film bagian I-nya, ternyata memang benar, posisi bertarung mereka berbeda dari semula—dengan adanya pria botak yang kujuluki Si Muka Mesum dan si asisten lain yang ceking dan tampak konyol yang menurutku memang kurang pantas sebagai salah satu pemimpin genk, bila dilihat dari acting dia dan tingkah laku dia (tentunya dalam film). Apakah film part kedua ini bukan kelanjutan dari part pertamanya?—aku berpikir demikian.

Tapi setelah itu keherananku ini terjawab, dengan ditampilkannya anak-anak Serizawa, yang melihat Genji kalah bertarung melawan Rindaman, dan ada salah satu dari mereka berkata; “Brengsek! Genji kalah lagi!”

Kata “Lagi”, berarti mengukuhkan bahwa pertarungan itu adalah pertarungan yang kedua, atau kesekian kali, pokoknya bukan yang pertama. Jadi, epilog di film seri pertamanya itu memang sengaja dipotong oleh si sutradaranya, untuk menambah kesan “penasaran” bagi penontonnya, dan menunjukkan bahwa film itu masih akan berlanjut. Good job, bagi sutradaranya. :)

Terus, masuk ke adegan berikutnya.

Film mulai dimasuki dengan berbagai masalah, yaitu dengan keluarnya salah satu murid dari penjara, yang di masa silam (tepatnya 2 tahun yang lalu—wah murah bener ya harga dari nyawa di Jepang sana? Kalau cuma dihukum 2 tahun pasti di Indonesia banyak sekali pertumpahan darah, haha), telah berhasil membunuh salah satu pimpinan genk Housen, yang bernama; Bitou Makio. Mulai saat inilah film menjadi seru. Ada kejar-kejaran, konflik, dan peperangan yang akan meletus kembali antara kedua belah pihak (sekolah Housen dan Suzuran), yang mana, sudah sedari dulu mereka mempunyai janji tidak akan berperang lagi, dan janji itu mereka pegang teguh.

Tapi, karena kesombongan si Genji (tampaknya dia memang dijadikan tokoh yang bersifat sombong di film itu), akhirnya perjanjian itu terlepas sudah, dan pada akhirnya dia harus bersiap-siap bertarung melawan sekolah Housen.

Sampai segini, film terasa seru. Aku membayangkan, pasti rute jalan ceritanya akan penuh intrik dan polemik.
Beberapa menit berlalu. Film terasa agak tenang sekarang, saat film diselingi penyanyi yang sama dari film bagian I-nya. Nyanyian berbahasa Jepang, waw, sungguh terasa khas Jepang sekali. (Aku suka lagu dan aransementnya—pemilihan sountrack yang bagus, 100 bagi tim-nya).

Dan, saat sedang slowly down-slowly downnya, tiba-tiba saja ada sebuah part yang ditampilkan, yaitu Ken yang ditembak bosnya sehingga kecemplung di suatu kolam. Hal ini membuat mataku langsung mengejang, “Kok part bagian ini ditampilkan lagi?” :O

Nggak percaya saja, kalau dalam suatu film, ada potongan part yang ditampilkan hingga TIGA KALI. Apa itu nggak membuat penonton bosan? (bagi penggemar film ini, pasti enggak. Tapi bagi aku, itu sangat membosankan, walau hanya sekilas. Sama saja menulis novel, tak ada part yang boleh diulang sampai tiga kali—itu pasti sangat membosankan!). Walau pada akhirnya, ternyata part itu “hanya” untuk menerangkan tentang kejadian Ken yang mati pada Kawaishi Noboru. Tapi, apakah tidak ada cara lain lagi untuk menerangkan hal itu? Oh, iya, ini film bagian ke2-nya ya. Jadi mungkin saja si sutradara mengira kalau dengan menampilkan part itu walau sebentar saja tidak akan membuat penonton bosan. (Gleg—nelen ludah)

Pemain yang paling membuat jidat mengkerut adalah si Ryo. Pria ceking, berkulit putih, dan berambut panjang. Dari awal kemunculannya, aku kira dia adalah seorang cewek, yang saat itu membawa payung. Tapi ternyata dia adalah seorang laki-laki—hal ini mengundang rasa penasaran, bagaimana sih kekuatan dia nantinya?

Sampai di tengah film, muncul si Ken lagi, yang berada di sebuah pelabuhan—mungkin—yang didatangi oleh Kawaishi Noboru. Mulai saat ini berbagai spekulasi terjadi, kayaknya cerita semakin melebar—sangat-sangat lebar—dan aku nggak tahu bagaimana si sutradara itu akan merampungkan segala permasalahan dalam film itu.

Lanjut dan terus lanjut, ada keanehan yang lepas dari pengawasan si sutradara, yaitu saat si Kawaishi Noboru menembak bos dari si Ken. Ken, yang saat itu sedang berada di pekerjaannya, mendengarkan sebuah radio, yang menyiarkan berita penembakan itu. Tapi anehnya, si penyiar radio berkata seperti ini: “Berita terbaru. Hideo Takiya, bos dari Ryuseikai, ditembak oleh tersangka yang belum diketahui.”

Untuk kalimat ini menurutku agak ganjil, karena jika Ryuseikai itu adalah nama “genk” nya, kok bisa-bisanya disiarkan di radio? Padahal, jelas kalau informasi seperti itu, jika keberaan suatu genk sudah diketahui oleh publik, bukankah akan memudahkan polisi untuk menangkapnya—bila ada suatu keributan? Ataukah hanya ini cara satu-satunya yang digunakan si sutradara untuk memberitahu posisi Kawaishi yang baru saja menembak bos-nya? (nggak lucu menurutku)
Tapi entahlah denk, aku nggak tahu apa arti dari Ryuseikai itu. Entah itu nama genknya, entah nama restoran atau makanan, aku nggak tahu. Karena, jujur, aku agak lemot dalam menghafal sebuah nama (gubrakk!) :S

Bukan hanya satu kalimat itu saja yang membuatku merasa janggal.

Sebelum itu, ada juga perkataan dari ayah Genji, yang menurutku kurang cocok bila diucapkan dalam situasi seperti itu (saat dia menemui Genji di sebuah bar bawah tanah saat ingin mengajak Genji berkelahi).

Ayah Genji berkata, “Kau memang pantas jadi anak bos Ryuseikai. Sudah main perempuan biarpun masih bocah.”
Loh, kok, dia bisa berbicara demikian? Padahal, dari jalan ceritanya, si Genji aja cuma duduk-duduk di bar dan didatangi seorang cewek—itu pun dia selalu cuekin. Kok bisa-bisanya dia berkata seperti itu?

Seharusnya, kalau ada part yang mengucapkan kalimat seperti itu, si ayah Genji seharusnya sudah melihat batasan yang lebih daripada hanya sekedar duduk dengan cewek tanpa ada sentuhan tangan sedikitpun! Seharusnya si ayah Genji melihatnya berciuman dengan cewek itu, atau nyaris saja berbuat mesum—setidaknya. Dan, setelah itu, barulah dia pantas mengucapkan kalimat itu; “Sudah main perempuan biarpun masih bocah.”

Helllloowwww, Pak Sutradara. Dimanakah dirimu? Si Genji ini sudah besar loh. Masak cuma berani  duduk dan tanpa menyentuh seorang cewek—apalagi dia adalah ketua “genk”? Mana kamu kasih part kalimat seperti itu lagi sama ayahnya. Jangan-jangan kamu nggak menonton ulang film-mu setelah jadi yak? :D

Film-film indonesia saja kalau sudah SMA, bisa berbuat yang lebih jauh dari itu. Atau apakah ini karena ekosistem kependudukan di sana adalah seperti itu? Aku juga nggak tahu karena aku belum pernah kesana! (bleb!—kelelep)
Selepas menghabiskan ¾ film, aku masih juga penasaran, bagaimana caranya si sutradara nanti akan mengakhiri segala masalah itu yak? Karena menurutku cerita memang berkembang semakin lebar dan tak terkendali.

Genk Suzuran dan Nobou yang ingin bertarung, dan Ken yang menembak ayah dari Genji. Dan ternyata, memang sampai film selesai, segala permasalahan itu tidak terselesaikan juga, dan malah selesai dengan cara terpisah-pisah.

Semula aku mengharapkan si Ken, tetap berurusan dengan genk-genk itu. Karena memang dia adalah pemicu perkelahian itu. Tapi ternyata dia malah berakhir dengan cerita sendiri, penembakan yang tak diduga-duga, dan lari bersama Ken naik mobil pick up. Sementara dua genk itu bertarung mati-matian di sekolahan Nobou. (ending cerita yang lumayan buruk untuk sebuah film menurutku)

Lalu kita beralih ke part saat kedua genk berkelahi.

Di sana, semula si Genji berangkat sendiri karena teman-temannya tidak mau membantu (Terutama si pria tampan berambut agak panjang dan runcing-runcing dari kelas lain, yang kelihatannya diketuai oleh Rindaman, yang di film bagian I-nya, dia yang pertama kali membuat kekacauan, tapi malah tidak terlalu dikaitkan dengan jalan ceritanya). Sebelum itu, Genji sudah berusaha memohon mereka untuk meminjam kekuatan mereka, untuk membantu dia bertempur melawan sekolah Nobou—dengan melalui microphone sekolah. Tapi ternyata mereka tidak mau membantu, dan akhirnya, setelah Genji berangkat sendiri karena—kayaknya—putus asa, mereka semua tiba-tiba pada berdatangan. Termasuk si pria rampan berambut agak panjang dan runcing-runcing itu.

Lho, kok dia bisa ikut juga yak? Padahal dia tadi sudah berkata kalau dia tidak mau membantu karena itu bukan urusannya.

Kalau si Serizawa sih menurutku lumrah, karena dia sudah berpendapat, kalau si Genji kalah, maka dia harus menghadapi sekolah Nobou sendiri. Karena itulah dia mau membantu. Tapi si pria tampan itu? Hhh, entahlah.... jadi bingung sendiri dengan film ini.... :S

Pertarungan antara genk Nobou dengan GPS berlangsung sangat seru. Perkelahian yang seolah-olah seperti peperangan antar dua kerajaan, dan memang perlu diacungi jempol untuk action mereka yang tampak seperti berkelahi beneran—juga untuk tukang make up-nya yang sangat canggih jangan lupa.

Saat film itu berlangsung, aku sangat berharap, sangat-sangat berharap, kalau sekolah Suzuran akan jatuh kalah terlebih dahulu. Karena sekolah Noboru memang “dikatakan” sangat kuat sekali. Tapi ternyata eh ternyata, genk Nobou kalah, bahkan kalah telak, dan itu membuatku menelan ludah (gleg!).

Pertanyaannya, sekarang apa fungsi dari “Genk Nobou” itu? Apakah hanya sebagai peran pendamping, yang akan kalah dikemudian hari? Sementara si Genji terus berkibar?

Jawabannya ternyata mudah; karena agar film ini semakin panjang untuk dibuat seri ketiganya. Hal ini dibuktikan oleh perkataan adik dari Bitou Makio yang akan membuat genk Nobou semakin kuat.

Dan sedari awal aku juga sudah mengira-ira kalau genk Nobou akan kalah, atas ucapan dari adik Bitou Makio itu, yang ingin agar memperkuat genknya dulu. Tapi kalau genk Nobou kalah, aku berpikir dari awal, apakah akan menjadikan film itu bagus? Jawabannya jelas, sesuai dengan kata dan hati nuraniku, bahwa jalinan cerita seperti itu cukup; jelek. (maaf banget untuk se-senior Anda dalam membuat film)

Akhir kata, genk GPS, yaitu genk yang diketuai Genji Takiya menang, dan mereka pulang dengan membawa kejayaan.
Ditutup dengan bertarungnya si Genji Takiya melawan Rindaman, yang ternyata, Rindaman tampaknya akan kalah. (Aku nggak tahu gimana maksud sutradaranya kalau si Rindaman akan kalah) Tapi ternyata pertarungan itu tidak dilanjutkan, karena film keburu dipotong, demi efek “penasaran” para penonton, dan menunjukkan kalau film itu “masih” akan berlanjut di seri berikutnya. (Aku penasaran banget gimana cerita film seri ketiganya)

Untuk epilog film, ditutup dengan—mula-mula—warna hitam di layar, dilanjutkan dengan menampilkan sebuah langit berawan, yang juga terdengar suara burung gagak.

Di saat itu, ada seseorang yang berbicara, dan seolah menyimpulkan inti dari film itu. Bunyinya seperti ini: “Tidak ada yang salah dengan Gagak.” “Dibandingkan burung yang terkurung dalam sangkar, Gagak jauh lebih baik.” “Bisa menjadi Gagak sudah cukup bagiku.”

What? Apa-apaan itu? :O

Kesimpulan macam apakah dari sebuah film, yang menurut orang-orang sangat bagus seperti itu, tapi kesimpulannya sangat... sangat-sangat mengenaskan?

Memang sih kalau kalian tidak melihat filmnya langsung, tiga kalimat itu sungguh terlihat baik sekali. Tapi bila kalian melihat jalan ceritanya, kalian pasti akan tahu, penggambaran seperti apa yang dimaksudkan si Sutradaranya sebagai “Gagak” itu. Dia adalah si Genji yang sombong dan angkuh, yang ingin jabatan tertinggi, yang selalu ingin menang, yang selalu ingin mengalahkan segalanya, yang selalu berapi-api.

Mungkin, bila aku boleh mengganti kata-katanya (atau istilahnya “menukar” istilah-istilah itu menjadi sesuai dengan jalan ceritanya) akan jadi seperti ini:

“Tidak ada yang salah dengan menjadi orang yang sombong, angkuh, selalu ingin menang dan berkuasa.” “Dibandingkan dengan orang-orang lemah, yang setiap saat terkurung dalam segala rutinitasnya, menjadi Orang Angkuh itu jauh lebih baik.” “Bisa menjadi orang yang angkuh sudah cukup bagiku.”

GUBRAKKKKKK..... KLONTHUEEEENG... KLOUNTHUEENNNGGGG.... KLONTHUEENGGGGGG......!!!!!! (Jatuh nubruk blek khong guan aku) :D

“Sudah cukup.”

Acungi seribu jempol dah buat Sutradaranya! Seribu jempol kaki tapi. :D

Film sebagus itu, tapi berkesimpulan yang tak lain hanya merusak jiwa manusia.

Mungkin, kalau si Sutradaranya, mengeset lagi dari awal, dan yang berkuasa tetaplah si Serizawa itu, istilah Gagak itu menjadi baik. Tapi, ini, (ngambil tisue dulu ahh... T_T) ...maaf aku tak ingin membicarakannya lebih lanjut. Kejadian ini betul-betul tragis. Filmnya betul-betul membuatku terharu. Huhu... T__T

Akankah film seri ketiganya akan membuatku semakin terharu hingga hangis bombay? Kita lihat saja besok..... :D

Soooooooo.... untuk nilai.... bila diukur dari bintang satu sampai dengan lima.... aku memberikan cukup dengan SATU BINTANG saja.

Maaf ya Crows Zero bagian 2.

Tapi alur ceritamu betul-betul lucu. :D

Masih mending bagian yang pertama, tapi itu juga cukup... emh... tak sanggup aku mengucapkannya.... T__T
Pikir sendiri deh, karena setiap orang mempunyai pendapat sendiri-sendiri.

Tapi kita-kita seperti itu pendapatku tentang film ini.

Mending nonton filmnya Steven Spelberg deh, yuk, buu... ^_^

(eh, bener nggak ya tulisannya itu, hihi)



Serizawa and the gank! Tuh, lihat, pantesan Serizawa kan yang jadi tokoh utamanya? Dan acting Serizawa di film seri kedua ini lumayan lebih bagus daripada yg pertama (nggak terlalu terlihat bloon2 terus). Dan, itu bisa menunjukkan, kalau orang yang pendek itu lebih kuat daripada orang tinggi (ada nilai tertentu kan?) daripada si Genji yang menang, yang sifatnya terlihat angkuh dan linglung. Itu sih pendapatku. Bagaimana dengan pendapatmu? ;)


 [Kesimpulan: Film yang terlalu buruk untuk setting lokasi dan make up yang sangat bagus.]

Review Film "Crows Zero" Bagian 1 (SATU) Disini

0 komentar:

Posting Komentar