Review Film "Crows Zero" Bagian 1 (PERTAMA)


Sebenarnya aku agak takut menulis catatan ini. Di samping aku bukan siapa-siapa, yang tak pantas berbicara di depan umum, dan sudah barang tentu hal yang sekecil apapun bisa berdampak luar biasa di dunia yang begitu luas ini.

Tapi, karena aku terlanjur menonton film ini, dan menulis tentang review ini, dalam keadaan sadar atau pun tidak sadar (mabok kali yak? :D), mau tak mau aku tetap harus mempublishnya.

Dannn.... seperti inilah hasilnya!


Review Film "Crows Zero"

Bak-buk-bak-buk-wuss-wess-dyess-prak-dyess-arghhh....

Iseng-iseng, kali ini aku ingin mencoba mereview film yang kata orang-orang bagus banget. Yeah, judulnya sih memang bagus banget. Crows Zero. Aku sih nggak tahu apa artinya, karena memang aku nggak bisa bahasa Inggris (gubrakk!), tapi setelah lihat filmnya, kayaknya ada di salah satu episeode yang menampilkan sebuah kata—atau ada yang berbicara; Crows. Aku lupa-lupa ingat kalau tak lihat filmnya lagi, haha. :D

Yuk, kita mulai ulas.... :)

Opening film, waw, bagus banget kayak film holliwood, sampai-sampai aku berpikiran ini adalah tontonan yang akan membuat mataku selalu terpacu pada jalan ceritanya. :O

Muka-muka Jepang yang begitu khas dan tampan, membuat film ini menjadi terkesan berkualitas bila dipandang dari sudut mana pun.

Opening film dengan ditampilkannya seseorang yang ditembak, adalah hal yang betul-betul memicu rasa penasaran. Good job bagi Sutradaranya. ;)

Melangkah adegan kedua, wajah-wajah jepang dengan rambut mereka yang khas, yang dipotong runcing-runcing seperti duri, betul-betul membuat mata terlena. Sudut pengambilan gambar, pertemuan di suatu ruang kelas yang ricuh dan murid-murid yang selengekan, langsung memberiku imajinasi bahwa itu adalah sekolah para berandalan. Dan mimik wajah mereka, jangan salah, walau mereka sangat-sangat tampan sekali bila dibandingkan dengan yang membaca review tulisan ini (haha, maap kalau ada yang tersinggung), terlihat “sangar” dan “mafia”. Aku sampai berdecak kagum karena begitu canggihnya si tukang make up bisa mengubah wajah yang begitu tampan itu menjadi terlihat kejam—terlepas dari acting si pemain.

Melangkah semakin ke dalam, film itu ternyata semakin membuat rasa penasaranku bertambah. Penasaran bagaimana jalan ceritanya nanti, dan sibuk menebak-nebak kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi tetap saja aku tak bisa menebaknya, jadi aku memutuskan untuk menontonnya terus sampai selesai, pengen tahu bagaimana ending ceritanya.
Ternyata eh ternyata, di dalam film itu, hampir satu sekolah adalah mafia semua. Yaitu terdiri atas beberapa kelas yang masing-masing mempunyai pimpinan tersendiri. Dan atas pemicu itulah berbagai kelompok dan muris baru mulai berjuang mendapatkan tahta yang paling berkuasa untuk memegang kekuasaan sekolah itu sepenuhnya.

Mendapatkan setelah film, perlahan-lahan keningku menjadi berkerut. Tampaknya, ada yang aneh dengan film itu. Jujur, aku sudah merasakannya, tapi aku mencoba bertahan, dan ingin menonton kelanjutan film itu sampai tuntas. Dimulai dengan intuisi yang berbisik; “Sebenarnya siapa sih tokoh utama film ini? Apakah Genji Takiya, atau penguasa lama sekolah itu yang bernama Serizawa Tamao?”

Rasa penasaran itu bahkan ternyata menguasaiku hingga mencapai ending film. Tapi aku takkan menjelaskannya sekarang, karena keningku semakin berkerut setelah separuh film kutonton.

Seorang laki-laki, yang entah siapa namanya aku sudah lupa, yang kujuluki dia “Si Muka Mesum”, ketua dari kelas entah, menambah kesan humor yang asik. Tapi agak ganjil sewaktu film diputar pada episode sebelumnya; dia kelihatan sangat menyeramkan sebelum dia kujuluki Si Muka Mesum. Seharusnya ia tidak usah menjadi lembek seperti itu jika sebelumnya memang menjadi seorang pemimpin.

Kejanggalan yang kedua, tentang si Genji Takiya saat menangis di depan seorang laki-laki. Idih, nggak nyangka dia bisa menangis “selebay” itu, padahal sebelumnya dia digambarkan oleh sang sutradaranya sebagai seorang laki-laki yang kejam dan kuat—ini juga bertentangan dengan kejadian di ending cerita bila dikilas-balikkan.

Terus, si Serizawa, yang kukira dia adalah tokoh utama dalam film ini. Setelah kutelisik-telisik dari ekspresi mukanya, actingnya, kok dia agak blo’on-blo’on gitu ya? Kadang-kadang jadi blo’on, kadang-kadang jadi garang, yang tetap saja dimataku terlihat blo’on-nya—mungkin gara-gara terpengaruh sewaktu dia beracting jadi orang blo’on. Atau memang begitu dia diciptakan oleh sutradaranya, seri yang bersifat berkuasa namun agak bloon, bloon gitu ya?

Melangkah semakin jauh, muncul seorang wanita di tengah-tengah film. Dan semakin jauh ke belakang, aku selalu bertanya-tanya, sebenarnya apa “fungsi” dari wanita itu? Apakah sebagai titik sentral, yang memang biasa dipakai sutradara-sutradara untuk membuat film, istilahnya sebagai “garam” yang membuat manis daripada film itu?

Ternyata tidak! Wanita itu tak ubahnya hanya sebagai Pemeran Pembantu saja, yang kalaupun dipaksa-paksa menjabat sebagai titik sentral cerita itu, tetap saja tidak masuk, karena tidak ada chemistry yang kuat dan hubungan percintaan yang dalam.

Oh, ya, lupa. Apakah sebelumnya film ini pernah dibuat sebagai Novel berseri dulu, seperti Novel Twiligh Saga? Kalau ya, mungkin reviewku ini keliru. Karena bisa saja, ada sesuatu di belakangnya yang tak kumengerti, yang belum kulihat.

Tapi apakah perlu, seorang penonton sebuah film, harus membaca buku jadinya dulu? Tentu tidak kan? Jadi, so, ini adalah murni bila aku mereview sebagai penonton film itu untuk pertama kalinya.

Lanjut!

Seusai aku geleng-geleng kepala dengan keberadaan wanita itu, aku tetap saja masih sibuk berpikir; sebenarnya siapa sih tokoh utama dari film ini? Sejujurnya ini sangat mengherankan, karena aku—sebagai penonton—masih sibuk mengira-ira, sebenarnya siapa tokoh utamanya. Nggak lucu bukan? Hal ini berbanding terbalik saat aku menonton film buatan America—walau tokoh-tokohnya belum aku kenal; aku pasti akan langsung tahu siapa tokoh utamanya.
Semakin ke belakang, aku juga heran dengan fungsi si Tokio yang sakit itu. Memangnya ada pengaruhnya terhadap kelangsungan film itu yak? Wah-wah-wah, sutradaranya mulai ngawur tuh. Ceritanya menjalar kemana-mana, tapi tidak mempunyai fokus yang jelas. Dan apakah ada gunanya, ketika diketahui bahwa si Tokio itu sembuh? Nggak ada gunanya kan? Kecuali ketika dia tersenyum kepada si Genji itu—tapi tetap entah apa artinya, aku tak tahu.

Apakah film ini yang diandalkan adalah rasa persahabatannya?

Wah, aku bisa ngakak kalau membayangkan kesimpulan itu.

Tapi mungkin masuk akal juga, bila situasi di Jepang adalah carut marut seperti itu, yang konon tidak ada “rasa persaudaraan” sama sekali, bahkan antar tetangga. Film itu mungkin bisa masuk Muri.

Tapi karena aku sama sekali tak tahu bagaimana situasi di Jepang—karena aku memang belum pernah kesana, haha—jadi aku tetap memvonis, jikakalau inti film itu yang diutamakan adalah rasa persahabatannya, aku bisa ngakak terguling-guling. :D

Film dengan rasa persahabatan, masih kalah jauh bok dengan film-film Indonesia! :P

Ada sedikit kejanggalan juga dengan sakit yang diderita para manusia yang berkelahi di sana. Masak dalam sehari saja luka-luka mereka langsung sembuh? Kayak film kartun saja—oh ya lupa, di film kan gak ada tulisan Hari-nya yak? :D
Lalu sewaktu berkelahi, antar dua orang, yang menurutku, dan masih membuatku bingung, yang mana tokoh utama dalam film ini; Genji dan Serizawa. Seharusnya di peperangan terakhir dibuat hujan terus saja. Masak dalam waktu satu detik hujannya langsung berhenti dan rambut juga pakaian mereka jadi bersih dan kering sendiri? Kan nggak lucu? Kayak film sinetron sajah, haha. :D

Dan pada akhirnya, eng-ing-engggg........ ternyata yang menang adalah si Genji yang dalam penilaianku terlalu ambisius, walau memang dia memegang teguh rasa persahabatannya dengan si bodoh yang ditembak punggungnya itu.
Tapi menurutku, rasa persaudaraan si Serizawa lebih masuk dan mengena, daripada rasa persaudaraan si Genji yang ambisius itu. Tapi kenapa kok dimenangkan si Genji dalam pertempuran terakhirnya? Loh, loh, lohhhh.... piye toh sang sutradarane kiiii.... ngakak aku...! :D

Dan sialnya, setelah film itu kuputar dari awal, wawwww..... ternyata si Genji ini dengan sombong dan pongahnya yang menantang si Serizawa, yang menurutku sangat sopan dan bersahabat—tidak terkesan menjadi mafia yang gemar menyiksa teman-temannya. Walau alasan itu karena dia ingin menaklukkan ayahnya. Ckckckck...

Padahal, apa sih salah dari si Serizawa itu? Apakah dia berbuat masalah dengan sekolah itu atau apa? Sejak dia muncul saja kesan dia adalah orang yang sangat bijaksana dan kalem. Kenapa dia bukan jadi tokoh protagonis-nya?

Wue-e-e-e-e.... hebat bener si sutradaranya! :D

Dan, tentu saja masih ada kejanggalan-kejanggalan lain dari film itu.

Salah satunya, darimana mereka mendapatkan keahlian berkelahi itu? Padahal si Genji, di salah satu dialognya menyebutkan; “Aku sudah menguasai tehnik pukulan.”

Nah, kok tidak ditunjukkan bagaimana dia melatihnya? Nah loh, sutradaranya kecolongan kan? :D

Dan kalau pada akhirnya yang dimenangkan adalah si Genji itu, lantas, apa yang dapat diambil ilmu daripada film itu, selain pertengkaran dan perkelahian yang tak jelas jluntrungannya?

Sebut saja temanya adalah “rusaknya akhlak anak muda-anak muda dari Jepang”. Mungkin itu lebih pas.

Tapi, eitsss, tunggu dulu.... film ini masih ada seri keduanya loh. Aku sudah punya filmnya, tapi belum sempat melihatnya.

Dan mungkin saja, reviewku ini semuanya adalah salah, bila aku sudah melihat film seri keduanya. Mungkin segala kejanggalan itu nanti akan dijawab di sana. Soo... jangan berpikiran buruk dulu tentang film ini. Ini hanyalah pendapatku, sewaktu aku menonton filmnya pertama kali. :)

Dan juga jangan menyalahkan aku, karena memang setiap orang itu punya hak untuk mengutarakan pendapatnya.  
Siapa tahu ada pandangan lain yang lebih bermanfaat daripada ini, tapi jujur, itu adalah penilaianku dari film asal jepang: “Crows Zero” itu. Yeah, masih kalah jauh sih bila dibandingkan dengan film asal America. Walau tampang-tampang pemainnya ini memang bisa membuat rok cewek-cewek melayang. Haha. Lihat aja kalau nggak percaya. :D

Soooooooooooooooooooo...... penilaian dari film ini, jika dihitung dari bintang satu sampai dengan lima...... aku hanya memberikan DUA BINTANG saja.

Maaf ya Crows Zero.

Tapi memang begitulah reviewku.

Siapa tahu film seri keduanya lebih baik daripada ini.

Piss! :)

[Menurutku film ini lumayan buruk untuk bisa tayang di Indonesia, karena memang tidak ada manfaatnya sama sekali (kebanyakan film kukira harus mempunyai poin tersendiri biar penontonnnya memperoleh suatu ilham baik, jadi tidak asal buat, kecuali komedi. Indonesia saja sudah rusak dengan adanya demonstrasi anak-anak kawula muda. Apa jadinya kalau ditambah dengan film ini? Haha. Tapi enggak pasti juga denk, kadang ada inti sari tersendiri yang terkandung di dalamnya, dan antara satu orang dg orang lain itu tentu berbeda. Tapi inget, aku bukan type orang yang menyirik film-film laga--dan mungkin karena itu pasti ada yang beranggapan kalau menulis tulisan ini karena hanya aku tidak suka film laga, jangan salah, malah sebaliknya, dari jaman jet lii aku sudah mengenal film laga, walau kadang-kadang bisa lupa. :P). Atau, karena alasan itukah, film ini tidak tayang di Indonesia?]

Tapi kok ada banyak banget film Crows Zero itu ya serinya? Apakah reviewku ini salah?

Jadi bingung sendiri aku. @_@


























Tuh, sangar banget kan tampilan mereka? Tapi pas diteliti lebih lanjut di filmnya, kadang2 ada yang janggal juga dengan acting mereka. (Apakah mereka ingin meniru acting dalam novel pertamaku yang MANTRA itu? Haha. :D

Untuk bagian Part 2, bisa kalian baca Disini

0 komentar:

Posting Komentar